JARING KEPITING

jaring
membuat alat tangkap rajungan memakai jaring-
pertama tama kita siapkan bahan bahannya
kalo kita mau bikin satu
tali tambang ukuran dua mili dua gulung
tali tambang ukuran satu setengah mili dua gulung
tali pinti/tambang kecil tiga ikat
pelampung jaring yang ukuran kecil dua bungkus
timah jagung tiga kilo
uraian jaring satu pcs ukuran 3" /3,5" nomer senar 20
semua bahan wajib di beli.tersedia di toko peralatan nelayan atau di toko online juga ada.
cara buatnya kita buka urayan jaring kita susun trbalik,kiamptong menjadi lebat 11 mata jaring.
kita baris satu ujung dulu,membuat bagian atas dulu,ke tali tambang menggunakan pinti, masukan mata jaring setiap 30 cm tali tambang kita kasih 10 mata jaring baris pinti dan tambang,yang dimasukan ke mata jaring haya tali pinti,kita iket dan seterusnya.
kalo udah sekitar 4 mter baris kita pasang baluh kita iket balu ke tambang ama pinti yang tadi,bagian baluh kita kasi mata jaring 2,begitu dan deterusnya.
sampai habis mata jaring sesisih.
ituh bagian atas jaring,kia buat bagian bawah. diapkan tali tambang dan timah klanting,madukan tali tambang ke timah klanting.
kita baris pakai pinti. kita iket pinti ujung ke ujung tambang,masukan pinti ke mata jaring 5mata karing baris ukuran tambang 10 cm ikat lalu kasih kelanting satu. setiap bagian kelanting kasih 2 mata jaring begituh dan seterusnya sampai selesai mata jaring.
semoga bermanfat.
tiori bikin jaring rajungan supaya hasilnya maksimal,nelayan jaring rajungan punya cara masing masing.kalo pngalaman saya pribadi,asil yang maksimal bagaymana kita cara membuat jaringnya,dan pmakayan jaring .
pmbuatan baris jaring jangan terlalu kenceng.ushakan sesuai contoh di atas.
faktor lokasi,rajungan tidak semua lokasi di laut ada.
bahan senar,kalo pngen hasil yang maksimal menggunakan nomor senar kecil, 015.kan pada umumya paling kecil nomor senar 020 .
memakai senar kecil nomor 015,akan dapat hasil maksimal,berbeda sama yang memakai senar nomor 020.tetapi jaring kan mudah rusak,kita harus racing mengganti urayan yang rusak,supaya hasil maksimal terus.
pada umumya menangkap rajungan di laut kususnya di derah perairan (indramayu) nelayan jaring tajungan menggunakan jaring paling sedikit 15 tinting.
karena mencari poisi rajungan di laut gampang gampang susah,jadi merlukan jaring panjang/banyak,supaya pncarian lebih cepat,dan hasilnya maksimal.
Jaring kejer adalah salah satu alat tangkap yang berbentuk empat persegi panjang dan digunakan untuk menangkap rajungan (Portunnus sp) di perairan pantai. Menurut Martasuganda (2002), jaring kejer adalah alat tangkap yang juga disebut dengan jaring insang satu lembar atau dalam bahasa asingnya disebut dengan “Gillnet ”.
Martasuganda (2002) menyebutkan bahwa jaring insang yang ada di Indonesia terdiri dari jaring insang satu lembar atau single gillnet, jaring insang dua lembar atau double gillnet dan jaring insang tiga lembar atau trammel net . Penamaan dari ketiga jenis jaring ini bisa berbeda menurut daerah atau penamaannya disesuaikan dengan nama ikan yang akan dijadikan target tangkapan.
Menurut Ayodhyoa (1981), pada umumnya yang dimaksud dengan gillnet adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang, mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan perkataan lain, jumlah mesh depth lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah mesh size pada arah panjang jaring.
Pengertian jaring insang (gillnet ) ialah suatu alat tangkap berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung, pemberat, ris atas, ris bawah (kadang tanpa ris bawah : sebagian dari jaring udang barong). Besar mata jaring bervariasi disesuaikan dengan sasaran yang akan ditangkap (ikan, udang). Ikan yang tertangkap itu karena terjerat (gilled), pada bagian belakang lubang penutup insang (operculum) atau kurang lebih demikian, terbelit atau terpuntal (entangled) pada mata jaring terdiri dari satu lapis (gillnet), dua lapis, maupun tiga lapis (jaring kantong/ciker/tilek, “trammel net ”). Jaring ini terdiri dari satuan-satuan jaring yang biasa disebut tinting (pis). Dalam operasi penangkapan biasanya terdiri dari beberapa tinting yang digabung menjadi satu sehingga merupakan satu perangkat (unit) yang panjang (300-500 m), tergantung dari banyaknya tinting yang akan dioperasikan. Jaring insang termasuk alat tangkap selektif, besar mata jaring dapat disesuaikan dengan ukuran ikan yang akan ditangkap (Subani dan Barus, 1998).
Berdasarkan klasifikasi alat penangkapan ikan, jaring kejer diklasifikasikan kedalam kelompok jaring insang tetap, yaitu jaring dasar. Secara umum jaring insang tetap termasuk kedalam alat jaring insang atau gillnet. Jaring kejer yang digunakan nelayan untuk menangkap rajungan termasuk kedalam golongan jaring puntal atau tangle net karena rajungan yang merupakan sasaran utama penangkapanya tertangkap dengan cara terpuntal atau terbelit bagian tubuhnya pada badan jaring atau entangled (Muslim, 2000). Menurut von Brandt (1984), jaring kejer termasuk kelompok alat tangkap tangle net , atau lebih spesifik single- walled tangle net, karena rajungan yang merupakan sasaran utama penangkapanya tertangkap dengan cara terpuntal (entangled) bagian tubuhnya pada badan jaring. Martasuganda (2002), menyatakan bahwa jumlah pis disesuaikan dengan besar kapal, modal dan kemampuan nelayan yang mengoperasikannya, tetapi umumnya memakai 10-20 pis. Penurunan jaring (setting) dilakukan setelah matahari terbenam dengan cara diset me netap di dasar perairan selama 10-12 jam.
Secara umum konstruksi jaring kejer ini terdiri dari badan jaring (webbing), tali ris atas atau bawah, pelampung (float), tali pelampung (float line), pemberat (sinker), tali pemberat (sinker line), tali selambar, pelampung tanda, dan pemberat tambahan (Wawancara dengan nelayan Gebang Kabupaten Cirebon, 2006).
Badan jaring terbuat dari PA Monofilament berwarna transparan dengan nomor benang 20, ukuran mata jaring (mesh size) 3-3,5 inci dan jumlah mata ke arah tinggi jaring 6-7 mata. Perahu yang digunakan outboard engine berkekuatan
11-13,5 PK dengan bahan bakar solar. Nelayan jaring kejer berjumlah 2-3 orang yaitu terdiri dari 1 orang sebagai juri mudi dan 1-2 orang sebagai petawur.
Konstruksi dari jaring kejer menurut Martasuganda (2002), hanya terdiri dari satu lembar jaring (badan jaring) dimana ukuran matanya adalah sama. Pada bagian bawah dilengkapi dengan pemberat.
1. Badan Jaring
Badan PA Monofilament d.02 mm, besar mata jaring (mesh size) 8,89 cm (3,5 inci), jumlah mata ke arah tinggi jaring 6-7 mata dan jumlah mata dalam satu meter ke arah panjang jaring 16,5 mata.
2. Panjang Jaring
Panjang jaring dalam satu tinting (pis) untuk bagian tali ris atas adalah 40-50 m dan untuk bagian tali ris bawah adalah 42-52 m.
Metode Pengoperasian Jaring Kejer
Jaring kejer dalam pengoperasiannya dibawah (diset) di dasar perairan, yang sasaran utama penangkapan adalah rajungan dan ikan- ikan dasar. Cara pengoperasian jaring kejer ini disamping didirikan secara tegak lurus atau kurang lebih demikian dapat juga diatur begitu rupa yang seakan-akan menutup permukaan dasar atau dihamparkan pada dasar perairan (Subani dan Barus, 1998).
Pemasangan jaring kejer secara umum adalah dipasang melintang terhadap arah arus dengan tujuan menghadang arah ikan dan diharapkan ikan- ikan tersebut menabrak jaring serta tejerat dan terpuntal atau entangled pada tubuh jaring. Oleh karena itu, warna jaring sebaiknya disesuaikan denga n warna perairan tempat jaring kejer dioperasikan (Sadhori,1985). Ayodhyoa (1981) menyatakan bahwa warna jaring di dalam air akan dipengaruhi oleh faktor-faktor kedalaman dari perairan, tranparansi, sinar matahari, sinar bulan dan lain- lain. Selain itu setiap warna memiliki derajat terlihat atau visibilitas yang berbeda bagi ikan, yang dapat menjadikan jaring seperti suatu benda penghalang atau penghadang. Dengan demikian, kemungkinan terlihatnya jaring pada siang hari lebih besar dibandingkan pada malam hari, sehingga sebaiknya warna jaring tidak kontras terhadap warna air maupun warna dasar perairan.
Penelitian-Penelitian Tentang Jaring Kejer
Penelitian sebelumnya (Muslim (2000), Nurhakim (2001), Gardenia (2002), Effendie (2002), Miskiya (2003), Suadela (2004), Ansharullah (2004), Firmansyah (2004) dan Setiyawan (2004)) sudah mendeskripsikan data ukuran rajungan yang tertangkap, yaitu lebar karapas dan panjang karapas pada masing- masing penelitian
Deskripsi Bubu Lipat (Wadong)
Bubu adalah perangkap yang digunakan untuk menangkap ikan, bubu mempunyai pintu dan badan yang dirancang sedemikian rupa sehingga bila ikan masuk ke bubu melalui pintu tersebut tidak akan dapat keluar lagi. Alat tangkap bubu dapat dipergunakan untuk menangkap ikan demersal dan pelagis di perairan teritorial Indonesia dan perairan ZEEI Samudera Hindia dan ZEEI Samudera Pasifik. Ikan- ikan yang tertangkap pada operasi alat tangkap bubu ini adalah jenis-jenis ikan demersal (bubu dasar), dan ikan-ikan pelagis (bubu apung/hanyut) (Direktorat Sarana Perikanan Tangkap, 2003).
Menurut (Subani dan Barus, 1998), bubu adalah alat tangkap yang umum dikenal di kalangan nelayan, variasi bentuknya banyak sekali, hampir setiap daerah perikanan mempunyai model dan bentuk sendiri. Bentuk bubu ada yang seperti : sangkar (cages), silinder (cylindrical), gendang, segitiga memanjang (kubus) atau segi banyak, bulat setengah lingkaran dan lain- lainnya.
Perangkap adalah alat tangkap yang umumnya berbentuk kurungan. Ikan dapat masuk dengan mudah tanpa adanya paksaan, tetapi ikan tersebut akan sukar keluar karena terhalang oleh pintu masuknya yang berbentuk corong (non-return device) (von Brandt, 1984).
Bub u adalah alat tangkap yang cara pengoperasiannya bersifat pasif, yaitu dengan cara menarik perhatian ikan agar masuk kedalamnya. Prinsip penangkapan ikan mengunakan bubu adalah membuat ikan dapat masuk dan tidak dapat keluar dari bubu (Sainsbury, 1996).
Menurut Martasuganda (2003), bentuk bubu sangat beraneka ragam, ada yang berbentuk segiempat, trapesium, silinder, lonjong, bulat setengah lingkaran, persegi panjang atau bentuk lainnya, bentuk bubu biasanya disesuaikan dengan ikan yang akan dijadikan target tangkapan, tetapi meskipun yang dijadikan target tangkapan sama, terkadang bentuk bubu yang dipakai bisa juga berbeda tergantung pada kebiasaan atau pengetahuan nelayan yang mengoperasikannya. Berbeda dengan alat tangkap yang terbuat dari jaring seperti pukat cincin, trawl, jaring insang, set net dan alat tangkap lainnya. Bentuk bubu tidak ada keseragaman diantara nelayan di satu daerah dengan nelayan di daerah lainnya termasuk bubu di satu negara dengan negara lainnya.
Alat tangkap ini dibuat dalam bentuk empat persegi panjang, biasanya dilengkapi dengan suatu katup yang didesain agar ikan mudah untuk masuk, tetapi sulit keluar. Pada umumnya bubu dibuat dari bahan bambu yang dianyam, tetapi pada saat ini sering digunakan bahan jaring. Bubu dapat digunakan dengan atau tanpa umpan (Umali dan Warfel, 1949).
Secara garis besar komponen bubu dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : badan (body), mulut (funnel) dan pintu. Bubu biasa terbuat dari bahan anyaman bambu, anyaman rotan, atau anyaman kawat. Bentuk bubu sangat bervariasi, hampir setiap daerah di Indonesia memiliki bentuk sendiri-sendiri (Subani dan Barus, 1998).
Konstruksi atau struktur alat tangkap bubu menurut Direktorat Sarana Perikanan Tangkap (2003), terdiri atas :
1. Rangka besi atau bahan lainnya yang d ibentuk sedemikian rupa sesuai dengan bentuk bubu yang digunakan (kotak persegi, kotak empat persegi panjang, oval, silinder, bulat dan lain- lain).
2. Mulut atau jendela adalah tempat masuknya ikan kedalam bubu yang diberi
corong jaring, sehingga bila ikan masuk kedalamnya tidak dapat keluar lagi.
3. Net webbing adalah jaring multifilament dari bahan PA yang berfungsi sebagai pembungkus (pembentuk) dari rangka sehingga rangka tersebut berbentuk bubu yang diinginkan.
4. Tali penarik adalah tali PE yang diikatkan pada bagian atas bubu yang
berfungsi untuk menaikkan dan menurunkan bubu ke dalam air.
Menurut Martasuganda (2003), memberikan penjelasan bahwa secara umum konstruksi bubu terdiri dari rangka, badan dan pintu masuk, kemudian ada juga yang dilengkapi dengan pintu untuk mengambil hasil tangkapan dan kantung umpan sebagai tempat untuk menyimpan umpan. Rangka bubu ada yang tersebut dari lempengan besi, besi behel, bambu, kayu atau bahan lainnya. Sedangkan badan bubu ada yang terbuat dari anyaman kawat, jaring, waring, anyaman bambu atau bahan lainnya yang bisa dijadikan sebagai badan bubu. Untuk kantung umpan kebanyakan bahannya memakai kawat kasa. Selain itu, ada juga jenis bubu yang bahannya memakai bekas cangkang kerang, keramik, potongan bambu atau potongan paralon.
Alasan utama dari pemakaian bubu di suatu daerah penangkapan. Menurut Martasuganda (2003) adalah kemungkinan disebabkan karena beberapa pertimbangan seperti :
1. Adanya larangan mengoperasikan alat tangkap selain bubu
2. Topografi daerah penangkapan yang tidak mendukung
3. Kedalaman daerah penangkapan yang tidak memungkinkan alat tangkap lain untuk dioperasikan
4. Biaya pembuatan alat tangkap murah
5. Pembuatan dan pengoperasian alat tangkap tergolong mudah
6. Hasil tangkapan dalam keadaan hidup
7. Kualitas hasil tangkapan bagus
8. Hasil tangkapan umumnya bernilai ekonomis tinggi dan
9. Pertimbangan lainnya
Berdasarkan cara pengoperasiannya, bubu dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu bubu dasar atau ground fishpot, bubu apung atau floating fishpot dan bubu hanyut atau drifting fishpot (Subani dan Barus, 1998). Bubu dasar dapat dioperasikan dengan dua cara, yaitu dipasang secara terpisah, setiap satu bubu dengan bubu satu tali pelampung atau single trap; dan beberapa bubu dirangkai menjadi satu dengan menggunakan tali utama, disebut mainline traps.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh perikanan bubu antara lain ghost fishing. Hal ini dapat terjadi ketika bubu tertinggal pada suatu perairan. Bubu yang tertinggal tersebut masih dapat berfungsi sebagai pemikat ikan atau udang. Ikan yang tertangkap akan mati dengan sendirinya menjadi umpan ikan yang lebih besar lagi. Bila hal ini terjadi terus, produktivitas perikanan di perairan tersebut berkurang. Menurut Martasuganda (2003), kejadian ghost fishing bisa dicegah sekecil mungkin dengan cara yaitu, pada waktu penyambungan tali temali dikerjakan seteliti mungkin dan sebaik mungkin untuk mencegah pemotongan dari tangan usil dan terpotong secara tidak sengaja oleh baling-baling kapal lain, jumlah pemakaian bubu dibatasi agar mencegah banyak bubu yang hilang, bubu memakai bahan tertentu (bahan organik) dan tidak memakai bahan plastik atau metal.
Bubu lipat yang digunakan oleh nelayan Gebang Mekar dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini. Ukuran bubu lipat (wadong) yang biasa digunakan untuk lama waktu 3 hari dalam 1 kali trip adalah P x L x T = 52 cm x 33 cm x 20 cm.
Metode Pengoperasian Bubu Lipat (Wadong)
Metode pengoperasian untuk semua jenis bubu menurut Martasuganda (2003), pada umumnya hampir sama yaitu disamping di daerah penangkapan yang sudah diperkirakan banyak hidup ikan (ikan dasar, rajungan, udang, keong, lindung, cumi-cumi, gurita atau habitat perairan lainnya yang bisa ditangkap dengan bubu) yang akan dijadikan target tangkapan. Pemasangan bubu ada yang dipasang satu demi satu (pemasangan sistem tunggal), ada juga yang dipasang secara berantai (pemasangan sistem rawai). Waktu pemasangan “setting” dan pengangkatan “hauling ” ada yang dilakukan pada waktu pagi hari, siang hari, sore hari, sebelum matahari terbenam atau malam hari tergantung dari nelayan yang mengoperasikannya. Lama perendaman bubu di perairan ada yang hanya direndam beberapa jam, ada yang direndam satu malam, ada juga yang direndam sampai 3 hari tiga malam dan bahkan ada yang direndam sampai 7 hari 7 malam.
Subani dan Barus (1998), menyatakan bahwa dalam operasional penangkapannya bisa tunggal (umumnya bubu ukuran besar), bisa ganda (umumnya untuk bubu ukuran kecil atau sedang) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali panjang yang pada jarak tertentu diikatkan bubu tersebut. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang atau diantara karang-karang atau bebatuan, untuk memudahkan mengetahui tempat- tempat dimana bubu dipasang, maka dilengkapi dengan pelampung melalui tali panjang yang dihubungkan dengan bubu tersebut. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan 2-3 hari setelah bubu dipasang, kadang bahkan beberapa hari setelah dipasang.
Bubu lipat (wadong) yang dioperasikan oleh nelayan Desa Gebang Mekar, Kabupaten Cirebon, rata-rata lamanya perendaman bubu di perairan berkisar 3-5 jam dengan pemasangan berantai (sistem rawai). Jenis umpan yang dipakai adalah ikan petek dan ikan rucah dengan ukuran 5 cm (Wawancara nelayan Gebang Mekar Kabupaten Cirebon, 2006).
Alat tangkap bubu sifatnya pasif sehingga dibutuhkan pemikat atau umpan agar ikan yang akan dijadikan target tangkapan mau memasuki bubu. Jenis umpan yang dipakai sangat beraneka ragam ada yang memakai umpan hidup, ikan rucah atau jenis umpan lainnya. Penempatan umpan didalam bubu pada umumnya diletakkan di tengah-tengah bubu baik di bagian bawah, tengah atau di bagian atas dari bubu dengan cara diikat atau digantung dengan atau tanpa pembungkus umpan (Martasuganda, 2003).
Monintja dan Martasuganda (1990) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan ikan karang dan udang terperangkap ke dalam bubu yaitu karena tertarik oleh bau umpan, untuk tempat istirahat sewaktu ikan bermigrasi, karena sifat thigmotaxis dari ikan itu sendiri. Sifat thigmotaxis adalah sifat ikan yang selalu ingin mengetahui suatu benda asing yang ada di sekitarnya, sehingga cenderung untuk menyentuhkan diri pada benda tersebut. Sedangkan menurut Larger et al. (1977), reaksi ikan mendekati bubu disebabkan oleh respon ikan tersebut untuk mencari tempat berlindung.
Menurut IMA (2001) diacu dalam Widyaningsih (2004), untuk mengetahui berapa ikan yang telah terperangkap, nelayan harus mengangkat bubu ke permukaan atau nelayan menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan tertangkap hidup- hidup dan hanya ikan- ikan jenis tertentu saja yang tertangkap (tergantung besar pintu dan ukuran mata jaring).
Menurut Tiyosa (1979), fluktuasi hasil tangkapan bubu terjadi karena :
1. Migrasi dan perubahan harian, musiman maupun tahunan dari kelompok ikan;
2. Keragaman ikan di dalam populasi;
3. Tepat tidaknya penentuan tempat pemasangan bubu, karena alat tangkap jenis ini bersifat pasif dan menetap.



Comments